Dengan nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang,
Assalamu'alaikum sahabat Al-Kautsar
Sebagai ketukan kepada hati setiap Muslim untuk merenungkan dan menjalankan syariat dan perintah Allah sebagai kewajiban seorang Mukmin
مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى
أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu
memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka
sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka
itu kekal di dalam neraka” (QS At-Taubah: 17).
Pada ayat ini dengan jelas Allah Swt. mengatakan bahwa Dia tidak
menerima amal perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik,
sekalipun secara lahir mereka seperti beribadah kepada Allah yaitu
dengan memakmurkan masjid. Sangatlah tidak pantas kalau mereka ini
menjadi orang yang memakmurkan masjid. Kenapa?
Li anna al-’ibaadata ta’biiru ‘alal ‘aqidah
(ibadah merupakan ekspresi daripada aqidah seseorang). Artinya, kalau
aqidah seseorang salah, maka segala macam ibadah yang dilakukannya tidak
sah dan tidak akan diterima oleh Allah Swt., sekalipun secara fisik
ibadahnya kelihatan benar.
Secara zahir boleh saja mereka melakukan ibadah yang sama dengan yang
dilakukan oleh kaum Muslimin. Kaum Muslimin bisa membangun, menyumbang
dan memakmurkan masjid, orang kafir bisa melakukannya juga. Namun nilai
yang mereka lakukan jelas berbeda dengan yang dilakukan oleh kaum
Muslimin. Di mana letak perbedaannya? Letak perbedaannya adalah pada
kebenaran aqidahnya. Dalam Islam,
‘ibadatun wa ‘aqiidatun musyari’ah
(Islam meliputi aqidah dan sekaligus syari’ah). Ini berarti pelaksanaan
suatu syari’ah Allah tidak bisa dipisahkan dengan kualitas aqidah yang
dimiliki seseorang. Inilah yang menyebabkan apa pun amalan yang
dilakukan oleh orang-orang kafir tidak diterima oleh Allah Swt.
Penjelasan Allah pada ayat ini berkenaan dengan orang-orang Ahli Kitab,
dimana mereka jelas-jelas orang kafir. Bahkan dari perkataannya pun,
mereka jelas-jelas mengatakan bahwa mereka kafir, sebagaimana yang
ditegaskan Allah dalam penggalan yang berbunyi syaahidiina ‘alaa anfisuhim bil kufr
(sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir). Seperti apa
perkataan bahwa diri mereka kafir? Ketika orang Yahudi ditanya tentang
siapa mereka, maka jawaban yang mereka berikan, “Ana Yahuudu (saya Yahudi)”, dan ketika orang Nasrani ditanya dengan pertanyaan yang sama, maka mereka menjawab, “Ana Nasrani
(saya Nasrani)”. Jawaban yang mereka berikan ini merupakan bukti bahwa
mereka adalah orang yang musyrik. Ini berbeda dengan ketika seorang
Muslim ditanya tentang siapa dirinya, tidak pernah jawabannya, “Ana Muhammadiy (Saya penyembah Muhammad)”, akan tetapi jawabannya adalah, “Ana Muslim”.
Ayat ini hendaknya memberikan kepekaan kepada kaum Muslimin, agar
mereka tidak mudah tertipu oleh tampilan muka yang dilakukan oleh
orang-orang kafir, karena Islam bukan hanya meliputi syari’ah, akan
tetapi yang lebih penting adalah kebenaran aqidah. Jangan sampai kaum
Muslimin ditipu oleh perilaku orang yang sekedar pernah melaksanakan
umrah, tertipu karena seseorang yang pernah melakukan puasa, dan lain
sebagainya. Dan orang-orang musyrik seperti yang dijelaskan Allah Swt.
tidak pantas menjadi orang yang memakmurkan masjid.
Ayat ini harus renungi lebih mendalam dan kita kaitkan dengan realita
kehidupan yang terjadi sekarang, agar kita tidak tertipu oleh
orang-orang yang membangun Masjid atau membangun Mushallah, akan tetapi
sebenarnya kalau kita perhatikan komentar-komentarnya, atau
kebijakan-kebijakannya, semua itu tidak terlepas daripada aqidah
kekufuran, seperti orang yang mengatakan, “Islam sudah tidak mampu
menjawab problematika zaman”. Atau orang yang mengatakan “Islam hanya
sesuai untuk mengatur kehidupan orang Arab saja”. Perkataan seperti ini
sebenarnya merupakan sebuah
syahadah (kesaksian) bahwa mereka telah jatuh ke dalam kekufuran karena mengingkari Islam sebagai
diinullah
(ajaran Allah), telah mengingkari Islam sebagai manhajul hayah (sebagai
sistem dalam kehidupan). Jadi kalau kita perhatikan dengan seksama,
cukup banyak orang yang dari komentar-komentarnya sudah jatuh ke dalam
kekufuran dalam arti yang sebenarnya. Namun sayangnya umat Islam masih
saja belum menyadari realita ini, karena ucapan-ucapan itu berusaha
ditutup-tutupi dengan tampilan-tampilan lahir, seperti membangun masjid,
mempunyai pondok pesantren dan lain sebagainya.
Jadi penggalan yang berbunyi
syaahidiina ‘alaa anfisuhim bil kufr
(sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir) ini penting sekali
untuk kita renungi. Jadi mereka sendiri sebenarnya sudah bersaksi bahwa
mereka itu kufur, sekalipun tidak mengatakan “Saya kafir…”. Orang-orang
Ahli Kitab tidak pernah mengatakan “saya kafir…”. Mereka hanya
mengatakan, “Ana Yahudi, Ana Nasrani…”. Dari sini kita bisa analogkan
dengan ucapan orang-orang Islam sekarang yang mengatakan, “Saya adalah
seorang Nasionalis sejati…”. Atau orang yang mengatakan, “Saya adalah
penganut paham Sosialis…”, atau orang yang menganut isme-isme lainnya.
Ucapan-ucapan seperti inilah yang dimaksudkan dalam penggalan ayat yang
berbunyi
syaahidiina ‘alaa anfisuhim bil kufr (sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir).
Dan pemahaman seperti ini hendaknya kita sosialisasikan kepada
masyarakat yang pada saat ini banyak yang kurang memahami tentang esensi
kekufuran. Banyak diantara ummat Islam yang mengira bahwa yang
dinamakan kufur hanya jika seseorang menyembah berhala saja. Padahal
jenis-jenis berhala itu berkembang secara dinamis sesuai dengan
perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Berhala yang ada pada masa kita
sudah pasti berbeda dengan berhala yang disembah orang pada masa Nabi
Ibrahim. Berkenaan dengan kehidupan masyarakat yang berlangsung pada
masa Nabi Ibrahim, Allah berfirman,
رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Ya Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan
kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang
mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS Ibrahim: 36).
Esensi dari berhala bukan hanya patung yang dibuat dari batu atau
kayu saja, akan tetapi apa saja yang menjadi tandingan Allah adalah
berhala (
andaadan). Hal ini harus kita pahami agar kita tidak
tertipu oleh tampilan-tampilan lahir seperti karena megahnya bangunan
masjid yang dibangun seseorang, kemudian dengan cepat kita mengatakan
bahwa dia seorang Muslim atau seorang tokoh Muslim. Padahal terhadap
orang seperti ini, Allah mengatakan,
“Ulaa-ika habithath a’maaluhum”
(Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya), karena ibadah tanpa
didasari dengan aqidah yang benar, tidak akan ada gunanya. Lebur dan
hancurlah amal perbuatan yang tanpa didahului dengan aqidah yang benar.
Bagi orang seperti ini, tempat mereka adalah
“wa fin naarihum khaliduun” (dan mereka itu kekal di dalam neraka).
Na’udzubillaimin dzalik.
إِنَّمَا
يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ
فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada
Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan
orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS At-Taubah: 18).
Awal ayat ini dimulai dengan kata innama, yang dalam bahasa Arab
disebut ‘adatul hasr (alat untuk menyempitkan). Ini berarti bahwa
orang-orang yang tidak memiliki sifat sebagaimana yang disebutkan pada
ayat ini, maka dia tidak layak untuk ikut memakmurkan masjid. Pengertian
seperti ini sebagaimana ketika Allah Swt. menerangkan kepada kita
tentang batasan dari manusia yang disebut dengan ulama. Allah berfirman,
وَمِنَ
النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Dan demikian (pula) diantara manusia, binatang-binatang melata
dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara
hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama’. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun” (QS. Fathir: 28).
Pada ayat ini Allah mengatakan,
“Innamaa yakhsya-Allaha min ‘ibaadihil ulamaa”
(Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama). Ini artinya bahwa orang yang tidak takut kepada Allah,
bukanlah seorang ulama.
Kita kembali pada ayat yang kita tadabburi. Jadi kaum Muslimin yang
mendapatkan legitimasi dari Allah sebagai orang yang berhak untuk
memakmurkan masjid adalah yang mempunyai sifat sebagaimana yang
disebutkan pada ayat ini, yaitu:
Pertama,
man aamana billaahi wal yaumil aakhiri
(orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian). Jadi sifat
pertama yang disebutkan sebagai orang yang berhak untuk disebut
memakmurkan masjid, dikaitkan dengan masalah aqidah, yaitu orang yang
beriman kepada Allah dan beriman kepada hari akhir. Tentang keimanan
kepada Allah dan keimanan kepada hari akhir ini merupakan bukti yang
membedakan manusia dengan makhluk yang lain seperti binatang. Binatang
hanya mengenal apa-apa yang sifatnya lahiriyah dan keduniawian saja, dan
tidak pernah melihat sisi ukhrawi.
Oleh karena itu pantas saja kalau ada binatang yang saling
berhubungan dengan yang lainnya tanpa mengindahkan norma, karena memang
demikianlah mereka. Akan tetapi kalau ada manusia yang perilakunya
seperti binatang, maka derajatnya sama dengan binatang, bahkan lebih
rendah lagi. Oleh karena itu Allah berfirman,
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ
لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ
ءَاذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ
أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raf: 179).
Antara keimanan kepada Allah dengan keimanan kepada hari akhir,
sering diredaksikan Al-Qur’an secara berurutan. Kenapa? Karena keimanan
kepada kedua hal ini bisa membedakan antara orang yang benar-benar
beriman dengan orang-orang yang keimanannya hanyalah dusta. Orang yang
keimanannya benar tidak akan menghalakan segala cara dalam berusaha
karena ia yakin bahwa Allah Swt. Maha Mengetahui, dan Dia akan
memberikan balasan atas seluruh perbuatan manusia pada hari akhir kelak.
Ketika seorang yang keimanannya benar mempunyai suatu obsesi yang
berkaitan dengan masalah duniawi, ia akan bertanya dalam hatinya,
“Apakah ini akan bisa saya pertanggungjawabkan di akherat kelak?” Ketika
seorang Mukmin menjadai seorang dosen, ia tidak akan mempunyai prinsip
“Bagi saya, yang penting adalah bahwa apa yang saya sampaikan menarik
dan membuat saya tenar”, akan tetapi sebelum ia melakukan apa pun, ia
akan bertanya dalam hatinya apakah yang akan disampaikannya bisa ia
pertanggungjawabkan di akherat kelak atau tidak. Jadi seorang Mukmin
sejati dimensi yang dipergunakannya adalah dimensi ukhrawi, sebelum ia
menggunakan dimendi duniawi.
Kedua,
wa aqaamash shalaata (serta tetap
mendirikan shalat). Jadi sifat kedua yang harus dimiliki oleh orang yang
berhak untuk memakmurkan masjid adalah yang bisa tetap mendirikan
shalat. Oleh karena itu jangan sampai ada kasus dimana seorang pengurus
masjid dipilih dari orang yang sangat jarang shalat di masjid. Dia
datang ke masjid kalau ada peringatan hari besar Islam saja, seperti
peringatan Maulid Nabi,
Isra’ Mi’raj atau
Nuzulul Qur’an,
dan setelah peringatan tersebut selesai, maka menghilang lagi. Orang
seperti ini tidak patut untuk menjadi pengurus masjid karena ia bukan
aktivis masjid. Dan dalam memilih orang untuk menjadi pengurus masjid,
sebaiknya kita jangan menghalalkan segala cara.
Kadang-kadang ada sebagian orang yang menunjuk seseorang untuk
menjadi ketua pengurus masjid bukan karean dia seorang yang aktif untuk
selalu meramaikan masjid dengan shalat berjama’ah dan kegiatan lainnya,
akan tetapi dipilah hanya karean dia orang berpangkat atau orang yang
terpandang di masyarakat. Kita jangan sampai berbuat seperti ini, karena
kalau demikian berarti kita telah menghalalkan segala cara dalam
memilih pengurus masjid. Dan cara seperti ini jelas telah menyalahi
aturan Allah, karena pada ayat ini Allah Swt. mensyaratkan orang yang
berhak memakmurkan masjid adalah orang yang senantiasa menegakan shalat.
Penegasan Allah ini sekaligus memberikan pemahaman kepada kita agar
ijtihad kita jangan sampai bertentangan dengan nash yang terdapat dalam
Al-Qur’anul Karim. Dalam melaksanakan dakwah, jangan sampai bertentangan
dengan fiqhul ahkam. oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang kita
ambil dalam dakwah jangan sampai bertentangan dengan ketentuan Allah
Swt., baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun yang terdapat dalam
sunnah Rasulullah Saw. Bahkan pada ayat ini Allah mengatakan masalah ini
dengan kata
“innama” (hanyalah). Jadi hanya orang yang mempunyai sifat yang disebut dalam ayat ini sajalah yang berhak untuk memakmurkan masjid.
Dalam
Ushul Fiqh ada kaidah yang berbunyi,
“Laa ijtihaada fii mauriibin naash”
(tidak ada ijtihad ketika bertentangan dengan nash). Artinya, kalau
sudah ada ketentuan yang jelas dalam Islam, maka tidak dibenarkan kita
untuk berijtihad. Misalnya, sudah jelas nash menerangkan bahwa jumlah
rakaat dalam shalat Shubuh hanya dua rakaat. Ketika ada orang yang
beralasan bahwa agar manfaat riyadhi (olah raganya) lebih terasa
kemudian ia mengerjakan shalat Shubuh empat rakaat, maka tidak sah
sehingga tidak akan diterima oleh Allah Swt.
Contoh lain, tidak dibenarkan ijtihad yang berbunyi, “Karena negara
kita sedang dilanda krisis, maka kita tidak perlu membayar zakat, tetapi
cukup dengan membayat pajak saja, sehingga kas negara cepat terisi
sehingga krisis bisa cepat berlalu”. Ijtihad seperti ini sangat
dilarang, karena
nash-nya telah jelas.
Ketiga, sifat yang harus dimiliki oleh orang yang memakmurkan masjid adalah
shalaata wa aataz zakaata
(dan yang menunaikan zakat). Memperhatikan masalah zakat ini sangat
penting, karena ini menyangkut upaya untuk senantiasa membersihkan diri
dari berbagai macam kekotoran hati, sebagaimana yang terdapat dalam
firman Allah,
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ
عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS At-Taubah: 103).
Keempat,
walam yakhsya illallaah (dan tidak
takut kepada siapapun selain kepada Allah). Penggalan ini memberikan
pemahaman kepada kita bahwa seorang aktivis masjid adalah orang yang
kehidupannya penuh dengan
‘izzah. Kenapa? Karena ia tidak takut
kepada siapa pun kecuali hanya kepada Allah Swt. Seorang aktivis masjid
bukanlah orang yang senang merengek-rengek dan meminta-minta, akan
tetapi orang yang mempunyai
‘izzah rabbaniyyah, yang mempunyai
gengsi rabbani, yang dipenuhi dengan berbagai kemuliaan karena
senantiasa berafiliasi dengan aturan-aturan Allah Swt. Oleh karena itu
tidak pantas seorang aktivis masjid menghalalkan segala cara dalam
mencapai tujuannya.
Jadi ada empat sifat yang harus dimiliki oleh orang yang berhak untuk
memakmurkan masjid, yaitu beriman kepada Allah, beriman kepada hari
akhir, menegakkan shalat, membayar zakat dan orang yang tidak takut
selain kepada Allah Swt. Jadi kalau ada orang yang senantiasa meramaikan
kegiatan di masjid seperti selalu shalat berjamaah di masjid dan juga
meramaikan kegiatan masjid lainnya, maka ia mendapatkan legitimasi dari
Allah Swt. bahwa dia memang benar-benar termasuk orang yang beriman.
Adalah mudah bagi setiap manusia untuk mengatakan bahwa dirinya
beriman, akan tetapi tidak mudah untuk mendapatkan pembenaran dari Allah
Swt. bahwa keimanannya benar. Dan diantara syarat agar Allah memberikan
pembenaran Allah atas keimanan kita adalah ketika kita termasuk orang
yang senantias mema’murkan masjid, diantaranya adalah kita senantiasa
shalat berjamaah di masjid ketika waktu shalat sudah masuk.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudri dikatakan, “Anna Rasulullah Saw. Qaal,
“Idza ra’aitumur rajulun ya’taadil masjida, fa asyhidu lahu bil iiman”
(Jika kalian melihat seseorang yang senantiasa mendekatkan diri di
masjid, maka saksikanlah bahwa dia seorang yang beriman). Hadits ini
menunjukkan kepada kita tentang betapa pentingnya shalat berjamaah di
masjid, karena dengannyalah kita mendapatkan pengakuan atas kebenaran
keimanan kita. Oleh karena itu bagi kita yang aktif berdakwah, jangan
hanya sekedar berbicara bahwa shalat berjamaah lebih utama daripada
shalat sendirian, akan tetapi hendaklah kita pahami dan kita pahamkan
kepada masyarakat kita bahwa shalat berjamah merupakan sebuah keharusan.
Bahkan dalam
fiqhul Islami, sebagian besar imam madzhab mengatakan bahwa shalat jamaah hukumnya
fardhu ‘ain
(wajib bagi setiap orang). Dan dalil dipergunakan untuk menyimpulkan
hal ini memang kuat, di antaranya karena Rasulullah Saw. tidak pernah
meninggalkan shalat berjamaah sampai akhir hayatnya. Ketika beliau
menjelang dipanggil Allah, barulah posisi beliau sebagai imam shalat
berjamaah digantikan oleh Abu Bakar. Bahkan ketika perang pun,
Rasulullah Saw. tidak meninggalkan shalat berjamaah. Semua ini
menunjukkan pentingnya shalat berjamaah, dan ia merupakan standar dari
kebenaran keimanan seseorang. Bahkan, Rasulullah Saw. Mengatakan,
“Awwalu maa yahaasabu ‘ala ‘abdi yaumal qiyaamati ash-shalah” (amal yang pertama kali dihisab oleh Allah Swt. adalah shalat).
Nilai seorang Muslim bergantung pada sejauh mana ia mengaplikasikan
ajaran Islam dalam kehidupannya. Jadi kemuliaan seorang Muslim bukan
ditentukan oleh banyaknya ilmu yang dimilikinya, atau banyaknya kekayaan
yang dikumpulkannya, atau karena ketenarannya di masyarakat. Hamba
Allah Swt. yang selalu shalat berjamaah di masjidlah, yang mendapatkan
kesaksian dari Rasulullah Saw. bahwa keimanannya benar. Oleh karena
itulah ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan Allah yang berbunyi,
“Fa ‘asaa ulaa-ka an yakuunuu minal muhtadiin”
(maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan
orang-orang yang mendapat petunjuk). Dari penutup ayat ini bisa kita
simpulkan bahwa indikasi daripada aorang yang mendapatkan hidayah Allah
adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan
shalat, membayar zakat dan ia tidak takut selain kepada Allah Swt.
Dari ayat yang kita tadabburi ini kita mendapatkan pemahaman bahwa
orang kafir dilarang untuk masuk ke dalam masjid, kecuali karena suatu
kebutuhan yang tidak bisa ditinggal. Namun itu pun harus mendapatkan
idzin dari ummat Islam yang benar-benar komitment dengan Islam. Kenapa
orang kafir dilarang masuk masjid ? Karena pada dasarnya mereka najis,
sekalipun menurut sebagian Ulama najis yang dimaksud di sini adalah
najis
ma’nawi. Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا
الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً
فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang
musyrik itu najis, maka janganlah mereka mengdekati Masjidil Haram
sesudah tahun ini,maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu
karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana” (QS At-Taubah: 28).
Wallahu a’lam bishshawab.
Dikutip dari http://ari2abdillah.wordpress.com/2007/07/03/tafsir-al-quran-memakmurkan-masjid-qs-at-taubah-17/
Smoga Bermanfaat
Salaamun'alaik