INFORMASI

Marhaban Bikumul_Kautsar
Tampilkan postingan dengan label Tanya Jawab Seputar Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tanya Jawab Seputar Islam. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 Juni 2013

Posted by alkautsar
1 comment | Juni 08, 2013
Assalamu'alaikum warohmatulloohi wabarokatu,
Semoga saudara-saudaraku sekalian dalam keadaan sehat dan baik hatinya, teguh imannya dan baik budinya...,

Dalam kesempatan ini penulis akan mengangkat sebuah rubrik atau fenomena yang sangat banyak ditanyakan oleh kita. Ialah tentang Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri. Sebelumnya mari kita perhatikan hadist Rasulullah berikut :

Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” 
[HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad]

Akikah (bahasa Arab: عقيقة, transliterasi: Aqiqah yang berarti memutus dan melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa akikah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong, dan dikatakan juga bahwa akikah merupakan rambut yang dibawa si bayi ketika lahir.Adapun maknanya secara syari’at adalah hewan yang disembelih untuk menebus bayi yang dilahirkan.

Secara umum pelaksanaan aqiqah dibebankan kepada ayah dari anak yang baru dilahirkan. Secara hukum aqiqah adalah sunnah muakkad sebagaimana hadist tersebut di atas.

Kembali kepada masalah yang kita bahas kali ini, dari uraian di atas, bagaimana sebenarnya Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri menurut acuan Al-Quran dan Hadist?
Alhamdulillah dengan cukup melibatkan beberapa pendapat para ulama yang diangkat dalam dialaog tanya jawab antara jamaah, penulis mendapatkan catatan dari narasumber (Ustadz Dr. Fuji Rahmadi P, Ma) yang mengkin bisa menjadi pertimbangan dan pandangan untuk kita dalam masalah Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri. Mari kita baca dan pahami dialog berikut :

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum ustadz,... saya ingin bertanya tentang hukum orang akikah untuk dirinya sendiri... mohon penjelasan ustadz beserta dengan dalil-dalilnya dari Alquran dan Hadis... terima kasih ustadz sebelumnya. Dari Rizqi di Tebing Tinggi.

Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan saudari yang cukup umum dan terjadi di masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan saudari, berikut saya uraikan beberapa hal antara lain:

Pertama, akikah hukumnya sunah muakkad (ditekankan) menurut pendapat yang lebih kuat. Dan yang mendapatkan perintah adalah bapak. Karena itu, tidak wajib bagi ibunya atau anak yang diakikahi untuk menunaikannya. Jika Akikah belum ditunaikan, sunah akikah tidak gugur, meskipun si anak sudah baligh. Apabila seorang bapak sudah mampu untuk melaksanakan akikah, maka dia dianjurkan untuk memberikan akikah bagi anaknya yang belum diakikahi tersebut.

Kedua, jika ada anak yang belum diakikahi bapaknya, apakah si anak dibolehkan untuk mengakikahi diri sendiri? Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang lebih kuat, dia dianjurkan untuk melakukan akikah. Ibnu Qudamah mengatakan, “Jika dia belum diakikahi sama sekali, kemudian baligh dan telah bekerja, maka dia tidak wajib untuk mengakikahi dirinya sendiri. 

Imam Ahmad ditanya tentang masalah ini, ia menjawab, “Itu adalah kewajiban orang tua, artinya tidak wajib mengakikahi diri sendiri. Karena yang lebih sesuai sunah adalah dibebankan kepada orang lain (bapak). Sementara Imam Atha dan Hasan Al-Bashri mengatakan, “Dia boleh mengakikahi diri sendiri, karena akikah itu dianjurkan baginya, dan dia tergadaikan dengan akikahnya. Karena itu, dia dianjurkan untuk membebaskan dirinya.” Sementara menurut pendapat kami, akikah disyariatkan untuk dilakukan bapak. Oleh karena itu, orang lain tidak perlu menggantikannya….” (Al-Mughni, 9:364)

Ibnul Qayim mengatakan, “Bab, hukum untuk orang yang belum diakikahi bapaknya, apakah dia boleh mengakikahi diri sendiri setelah balig?” Al-Khalal mengatakan, “Anjuran bagi orang yang belum diakikahi di waktu kecil, agar mengakikahi diri sendiri setelah dewasa.” Kemudian ia menyebutkan kumpulan tanya jawab dengan Imam Ahmad dari Ismail bin Sa’id Al-Syalinji, ia mengatakan, “Saya bertanya kepada Ahmad tentang orang yang diberi tahu bapaknya bahwa dia belum diakikahi. Bolehkah mengakikahi diri sendiri?” Imam Ahmad menjawab, “Itu adalah kewajiban bapak.” 

Dalam kitab Al-Masail karya Al-Maimuni, ia bertanya kepada Imam Ahmad, “Jika orang belum diakikahi, apakah boleh dia akikah untuk diri sendiri ketika dewasa?” Kemudian ia menyebutkan riwayat akikah untuk orang dewasa dan ia dhaifkan. Saya melihat bahwasanya Imam Ahmad menganggap baik, jika belum diakikahi waktu kecil agar melakukan akikah setelah dewasa. Imam Ahmad mengatakan, “Jika ada orang yang melaksanakannya, saya tidak membencinya.”

Abdul Malik pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “Bolehkah dia berakikah ketika dewasa?” Ia menjawab, “Saya belum pernah mendengar hadis tentang akikah ketika dewasa sama sekali.” Abdul Malik bertanya lagi, “Dulu bapaknya tidak punya, kemudian setelah kaya, dia tidak ingin membiarkan anaknya sampai dia akikahi?” Imam Ahmad menjawab, “Saya tidak tahu. Saya belum mendengar hadis tentang akikah ketika dewasa sama sekali.” kemudian Imam Ahmad mengatakan, “Siapa yang melakukannya maka itu baik, dan ada sebagian ulama yang mewajibkannya.” (Tuhfatul maudud, Hal. 87 – 88)

Setelah membawakan keterangan di atas, Syekh Abdul Aziz menjelaskan, “Pendapat pertama yang lebih utama, yaitu dianjurkan untuk melakukan akikah untuk diri sendiri. Karena akikah sunah yang sangat ditekankan. Bilamana orang tua anak tidak melaksanakannya, disyariatkan untuk melaksanakan akikah tersebut jika telah mampu. Ini berdasarkan keumuman banyak hadis, diantaranya, sabda Nabi saw: “Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelih pada hari ketujuh, dicukur, dan diberi nama.” Diriwayatkan Imam Ahamd, Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Majah, dari Samurah bin Jundub ra., dengan sanad yang shahih.

Termasuk juga hadis Ummu Kurzin, bahwa Nabi saw., memerintahkan untuk memberikan akikah bagi anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan dengan satu kambing. Hadis ini diriwayatkan Imam Ahamd, Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Majah. Demikian pula Tirmudzi meriwayatkan yang semisal dari Aisyah. Dan ini tidak hanya ditujukan kepada bapak, sehingga mencakup anak, ibu, atau yang lainnya, yang masih kerabat bayi tersebut.”

Jika diteliti keterangan di atas, maka terjadi perbedaan pendapat. Namun dalam hal ini saya lebih cenderung untuk mengamalkan pendapat yang disampaikan oleh Imam Ahmad yang pada intinya menyatakan bahwa akikah untuk diri sendiri tidak memiliki dasar yang jelas secara tekstual dalam Alquran dan Hadis. Oleh karena itu, kewajiban akikah memang ditangan orangtua khususnya bapak, bukan anak. 
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Semoga bermanfaat untuk kita semua.
Wassalaamu'alaikum :)

Kamis, 16 Mei 2013

Posted by alkautsar
No comments | Mei 16, 2013
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh,
Dalam kehidupan sehari, begitu banyak hal yang telah mejadi kebiasaan umum tanpa memandang dari sisi hukum dengan sudut pandang Agama, khususnya Islam.
Berikut adalah sebuah pertanyakan yang pernah di ajukan kepada narasumber :

Pertanyaan: 

Assalamu'alaikum ustadz yang dirahmati Allah. Terima kasih atas jawaban ustadz untuk pertanyaan, sekalian juga saya mau bertanya bagaimana hukum mengecat (semir) rambut dalam Islam ustadz,.. Terima kasih ustadz... Ir. H. P. Mulia Siregar 

Jawaban: 

Sehubungan dengan masalah ini ada satu riwayat yang menerangkan, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak memperkenankan menyemir rambut dan merombaknya, dengan suatu anggapan bahwa berhias dan mempercantik diri itu dapat menghilangkan arti beribadah dan beragama, seperti yang dikerjakan oleh para rahib dan ahli-ahli Zuhud yang berlebih-lebihan itu. Namun Rasulullah saw. melarang taqlid pada suatu kaum dan mengikuti jejak mereka, agar selamanya kepribadian umat Islam itu berbeda, lahir dan batin. 

Untuk itulah maka dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w. mengatakan: 

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka.”
 (HR. Bukhari) 

Perintah di sini mengandung arti sunnat, sebagaimana biasa dikerjakan oleh para sahabat, misalnya Abubakar dan Umar. Sedang yang lain tidak melakukannya, seperti Ali, Ubai bin Kaab dan Anas. 

Tetapi warna apakah semir yang dibolehkan itu? Dengan warna hitam dan yang lainkah atau harus menjauhi warna hitam? Namun yang jelas, bagi orang yang sudah tua, ubannya sudah merata baik di kepalanya ataupun jenggotnya, tidak layak menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu tatkala Abubakar membawa ayahnya Abu Kuhafah ke hadapan Nabi pada hari penaklukan Makkah, sedang Nabi melihat rambutnya bagaikan pohon tsaghamah yang serba putih buahnya maupun bunganya. 
Untuk itu, maka bersabdalah Nabi: “Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam.” 
(HR. Muslim) 

Adapun orang yang tidak seumur dengan Abu Kuhafah (yakni belum begitu tua), tidaklah berdosa apabila menyemir rambutnya itu dengan warna hitam. Dalam hal ini az-Zuhri pernah berkata: “Kami menyemir rambut dengan warna hitam apabila wajah masih nampak muda, tetapi kalau wajah sudah mengerut dan gigi pun telah goyah, kami tinggalkan warna hitam tersebut.” Termasuk yang membolehkan menyemir dengan warna hitam ini ialah segolongan dari ulama salaf termasuk para sahabat, seperti: Saad bin Abu Waqqash, Uqbah bin Amir, Hasan, Husen, Jarir dan lain-lain. 

Sedang dari kalangan para ulama ada yang berpendapat tidak boleh warna hitam kecuali dalam keadaan perang supaya dapat menakutkan musuh, kalau mereka melihat tentara-tentara Islam semuanya masih nampak muda. Dan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar mengatakan: 
“Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam.”
(HR. Tirmizi dan Ashabussunan) 

Inai berwarna merah, sedang katam sebuah pohon yang tumbuh di zaman Rasulullah s.a.w. yang mengeluarkan zat berwarna hitam kemerah-merahan. Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Abubakar menyemir rambutnya dengan inai dan katam, sedang Umar hanya dengan inai saja. 

Dari Jabir ra., dia berkata: ”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah saw., bersabda: “Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.”
 (HR. Muslim)

Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”. Ketika menjelaskan hadits di atas An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami (Syafi’iyah), menyemir uban berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yaitu dengan shofroh (warna kuning) atau hamroh (warna merah) dan diharamkan menyemir uban dengan warna hitam menurut pendapat yang terkuat. Ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya hanyalah makruh (makruh tanzih). Namun pendapat yang menyatakan haram lebih tepat berdasarkan sabda Rasulullah saw.,: “hindarilah warna hitam”. Inilah pendapat yang menurut saya lebih baik untuk diamalkan. 

Demikian pembahasan yang kami sajikan mengenai uban dan menyemir rambut. Semoga pembahasan kali ini bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah selalu memberikan kita ketakwaan dan memberi kita taufik untuk menjauhkan diri dari yang haram. Wallahu a’lam bi as- showab.

Demikianlah pertanyaan dan jawaban telah diuraikan di atas. Semoga dapat menjadi pelajaran dan bermanfaat untuk kita semuanya.....,

Special thanks untuk Ustadz Dr. Fuji Rahmadi, MA  yang menjadi narasumber, smoga abanganda sukses dan senantiasa dalam Lindungan dan Rodho Allah.

Salam Al-Kautsar..
Wassalamu'alaikum....