INFORMASI

Marhaban Bikumul_Kautsar

Rabu, 23 Oktober 2013

Posted by azwar ammar
No comments | Oktober 23, 2013
Sayyid Husain Al- Musawi bukanlah nama yang asing di kalangan Syi'ah. Beliau adalah seorang ulama besar Syi'ah yang lahir di Karbala dan belajar di "Hauzah" hingga mendapatkan gelar mujtahid dari Sayyid Muhammad Husain Ali Kasyif Al- Ghita'. Selain itu beliau juga mempunyai kedudukan yang istimewa di sisi Imam Ayatollah Khomeini.
Setelah melalui pengembaraan spiritual yang cukup panjang akhirnya beliau mendapatkan hidayah dari Allah. Beliau menemukan banyak sekali kesesatan dan penyimpangan dalam ajaran Syi'ah yang selama ini dianutnya. Beliau memutuskan keluar dari Syi'ah, masuk ke dalam Ahlu Sunnah.
Beliau melalui kitab "Lillah.. Tsumma Littarih" edisi Indonesia "Mengapa saya Keluar dari Syi'ah" mengungkapkan bahwa umumnya tokoh- tokoh Syi'ah amat suka dengan gaya hidup mewah bergelimang harta dan gonta- ganti wanita sesuka mereka dengan dalih agama, mengeluarkan fatwa- fatwa demi kepuasan syahwat semata. Hadits- hadits yang mereka riwayatkan di banyak kitab- kitab yang mereka lahirkan adalah hadits- hadits palsu yang keluar dari akal picik mereka sendiri demi meraup keuntungan duniawi. Menyandarkan setiap hadits kepada Nabi dan Ahlu Bait.
Contoh haditsnya seperti berikut ini pada ihwal pembolehan nikah mut'ah menurut mereka:
Ash- shaduq meriwayatkan dari As- shadiq Alaihis Salam, dia berkata, "Sesungguhnya mut'ah adalah agamaku dan agama bapakku. Barangsiapa yang mengerjakannya, maka dia telah mengamalkan agamanya. Barangsiapa yang mengingkarinya, maka berarti dia mengingkari agama kami dan berakidah dengan selain agama kami." (Man La yahdhuruhu Al- faqih, 3/366) Ini adalah pengkafiran terhadap orang yang menolak mut'ah.
            Padahal jelas sekali bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh mut’ah sangat besar dan kompleks, di antaranya:
1.        Menyalahi nash- nash syariat karena mengahalkan apa yang diharamkan Allah.
2.      Riwayat- riwayat dusta yang bermacam- macam dan penisbatannya kepada para imam, padahal di dalamnya mengandung caci maki yang tidak akan diridhai oleh orang yang dalam hatinya terdapat sebiji sawi dari keimanan.
3.       Dari kerusakan yang ditimbulkannya dari pembolehan mut’ah dengan wanita yang bersuami, walau dia berada di bawah penjagaan seorang laki- laki tanpa diketahui oleh suaminya. Dalam keadaan seperti ini seorang suami tidak akan merasa aman kepada istrinya, karena adakalanya sang istri menikah mut’ah tanpa sepengetahuan suaminya yang sah menurut syari’at dan tanpa seizinnya. Ini adalah kerusakan di atas kerusakan.
Dalam hal ini hanya tiga point saja yang bisa di ungkapkan, jika mau tahu selengkapnya baca langsung kitabnya yang telah di sebutkan di atas yaitu "Mengapa saya Keluar dari Syi'ah" oleh Sayyid Husain Al- Musawi terbitan Pustaka Al- kautsar, Februari 2012- Jakarta Timur.
Selamat membaca..

Sabtu, 08 Juni 2013

Posted by alkautsar
1 comment | Juni 08, 2013
Assalamu'alaikum warohmatulloohi wabarokatu,
Semoga saudara-saudaraku sekalian dalam keadaan sehat dan baik hatinya, teguh imannya dan baik budinya...,

Dalam kesempatan ini penulis akan mengangkat sebuah rubrik atau fenomena yang sangat banyak ditanyakan oleh kita. Ialah tentang Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri. Sebelumnya mari kita perhatikan hadist Rasulullah berikut :

Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” 
[HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad]

Akikah (bahasa Arab: عقيقة, transliterasi: Aqiqah yang berarti memutus dan melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa akikah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong, dan dikatakan juga bahwa akikah merupakan rambut yang dibawa si bayi ketika lahir.Adapun maknanya secara syari’at adalah hewan yang disembelih untuk menebus bayi yang dilahirkan.

Secara umum pelaksanaan aqiqah dibebankan kepada ayah dari anak yang baru dilahirkan. Secara hukum aqiqah adalah sunnah muakkad sebagaimana hadist tersebut di atas.

Kembali kepada masalah yang kita bahas kali ini, dari uraian di atas, bagaimana sebenarnya Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri menurut acuan Al-Quran dan Hadist?
Alhamdulillah dengan cukup melibatkan beberapa pendapat para ulama yang diangkat dalam dialaog tanya jawab antara jamaah, penulis mendapatkan catatan dari narasumber (Ustadz Dr. Fuji Rahmadi P, Ma) yang mengkin bisa menjadi pertimbangan dan pandangan untuk kita dalam masalah Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri. Mari kita baca dan pahami dialog berikut :

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum ustadz,... saya ingin bertanya tentang hukum orang akikah untuk dirinya sendiri... mohon penjelasan ustadz beserta dengan dalil-dalilnya dari Alquran dan Hadis... terima kasih ustadz sebelumnya. Dari Rizqi di Tebing Tinggi.

Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan saudari yang cukup umum dan terjadi di masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan saudari, berikut saya uraikan beberapa hal antara lain:

Pertama, akikah hukumnya sunah muakkad (ditekankan) menurut pendapat yang lebih kuat. Dan yang mendapatkan perintah adalah bapak. Karena itu, tidak wajib bagi ibunya atau anak yang diakikahi untuk menunaikannya. Jika Akikah belum ditunaikan, sunah akikah tidak gugur, meskipun si anak sudah baligh. Apabila seorang bapak sudah mampu untuk melaksanakan akikah, maka dia dianjurkan untuk memberikan akikah bagi anaknya yang belum diakikahi tersebut.

Kedua, jika ada anak yang belum diakikahi bapaknya, apakah si anak dibolehkan untuk mengakikahi diri sendiri? Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang lebih kuat, dia dianjurkan untuk melakukan akikah. Ibnu Qudamah mengatakan, “Jika dia belum diakikahi sama sekali, kemudian baligh dan telah bekerja, maka dia tidak wajib untuk mengakikahi dirinya sendiri. 

Imam Ahmad ditanya tentang masalah ini, ia menjawab, “Itu adalah kewajiban orang tua, artinya tidak wajib mengakikahi diri sendiri. Karena yang lebih sesuai sunah adalah dibebankan kepada orang lain (bapak). Sementara Imam Atha dan Hasan Al-Bashri mengatakan, “Dia boleh mengakikahi diri sendiri, karena akikah itu dianjurkan baginya, dan dia tergadaikan dengan akikahnya. Karena itu, dia dianjurkan untuk membebaskan dirinya.” Sementara menurut pendapat kami, akikah disyariatkan untuk dilakukan bapak. Oleh karena itu, orang lain tidak perlu menggantikannya….” (Al-Mughni, 9:364)

Ibnul Qayim mengatakan, “Bab, hukum untuk orang yang belum diakikahi bapaknya, apakah dia boleh mengakikahi diri sendiri setelah balig?” Al-Khalal mengatakan, “Anjuran bagi orang yang belum diakikahi di waktu kecil, agar mengakikahi diri sendiri setelah dewasa.” Kemudian ia menyebutkan kumpulan tanya jawab dengan Imam Ahmad dari Ismail bin Sa’id Al-Syalinji, ia mengatakan, “Saya bertanya kepada Ahmad tentang orang yang diberi tahu bapaknya bahwa dia belum diakikahi. Bolehkah mengakikahi diri sendiri?” Imam Ahmad menjawab, “Itu adalah kewajiban bapak.” 

Dalam kitab Al-Masail karya Al-Maimuni, ia bertanya kepada Imam Ahmad, “Jika orang belum diakikahi, apakah boleh dia akikah untuk diri sendiri ketika dewasa?” Kemudian ia menyebutkan riwayat akikah untuk orang dewasa dan ia dhaifkan. Saya melihat bahwasanya Imam Ahmad menganggap baik, jika belum diakikahi waktu kecil agar melakukan akikah setelah dewasa. Imam Ahmad mengatakan, “Jika ada orang yang melaksanakannya, saya tidak membencinya.”

Abdul Malik pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “Bolehkah dia berakikah ketika dewasa?” Ia menjawab, “Saya belum pernah mendengar hadis tentang akikah ketika dewasa sama sekali.” Abdul Malik bertanya lagi, “Dulu bapaknya tidak punya, kemudian setelah kaya, dia tidak ingin membiarkan anaknya sampai dia akikahi?” Imam Ahmad menjawab, “Saya tidak tahu. Saya belum mendengar hadis tentang akikah ketika dewasa sama sekali.” kemudian Imam Ahmad mengatakan, “Siapa yang melakukannya maka itu baik, dan ada sebagian ulama yang mewajibkannya.” (Tuhfatul maudud, Hal. 87 – 88)

Setelah membawakan keterangan di atas, Syekh Abdul Aziz menjelaskan, “Pendapat pertama yang lebih utama, yaitu dianjurkan untuk melakukan akikah untuk diri sendiri. Karena akikah sunah yang sangat ditekankan. Bilamana orang tua anak tidak melaksanakannya, disyariatkan untuk melaksanakan akikah tersebut jika telah mampu. Ini berdasarkan keumuman banyak hadis, diantaranya, sabda Nabi saw: “Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelih pada hari ketujuh, dicukur, dan diberi nama.” Diriwayatkan Imam Ahamd, Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Majah, dari Samurah bin Jundub ra., dengan sanad yang shahih.

Termasuk juga hadis Ummu Kurzin, bahwa Nabi saw., memerintahkan untuk memberikan akikah bagi anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan dengan satu kambing. Hadis ini diriwayatkan Imam Ahamd, Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Majah. Demikian pula Tirmudzi meriwayatkan yang semisal dari Aisyah. Dan ini tidak hanya ditujukan kepada bapak, sehingga mencakup anak, ibu, atau yang lainnya, yang masih kerabat bayi tersebut.”

Jika diteliti keterangan di atas, maka terjadi perbedaan pendapat. Namun dalam hal ini saya lebih cenderung untuk mengamalkan pendapat yang disampaikan oleh Imam Ahmad yang pada intinya menyatakan bahwa akikah untuk diri sendiri tidak memiliki dasar yang jelas secara tekstual dalam Alquran dan Hadis. Oleh karena itu, kewajiban akikah memang ditangan orangtua khususnya bapak, bukan anak. 
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Semoga bermanfaat untuk kita semua.
Wassalaamu'alaikum :)