INFORMASI

Marhaban Bikumul_Kautsar

Sabtu, 08 Juni 2013

Posted by alkautsar
No comments | Juni 08, 2013
Bismillahhirrohmaanirrohiim,

Berperangka Baik atau sering kita sebut dengan istilah Khusnozhon adalah suatu kajian aqida akhlak Islam yang selalu dianjurkan bahkan diwajibkan kepada kita sebagai seorang muslim sebagaimana firman Allah :



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” 
[Q.S Al-Hujurat: 12]

Berperasangka baik bertitik berat pada hati dan pikiran kita, memerlukan kesabaran dan keimanan yang baik.  Seseorang yang ditimpa musibah, sedang berada dalam kesedihan atau sebagainya yang bersifat melukai hatinya sering kali mencari kambing hitam dari semua masalah yang dialaminya.

Saudaraku...., bukannya  berperasangka baik itu adalah suatu usaha untuk melapangkan dan membersihkan hati? Sebaliknya, bukankan berperasangka buruk itu menyesakkan dadamu? Membuat pikiranmu sibuk serta emosimu susah untuk engkau kendalikan?

Dalam al-quran Allah berfirman :

"Wahai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku."
[ Q.S al-Fajr : 27-30 ]

Jiwa yang tenang di atas maksudnya adalah jiwa-jiwa yang telah dipenuhi rahmat dan petunjuk Allah, hati jiwa yang tunduk terhadap perintah Allah. Secara ilmu tafsir, Adapun kata al-muthmainnah yang berarti jiwa yang tenang dalam ayat tersebut merupakan ism al-fâ’il dari al-thuma’nînah wa al-ithmi’nân. Secara bahasa, kata al-thuma’nînah berarti as-sukûn (diam, tenang, tidak bergerak). Dijelaskan juga oleh al-Asfahani, kata tersebut berarti as-sukûn ba’da al-inzi’âj (tenang setelah gelisah atau cemas). Menurut at-Tunisi, kata ithma’anna digunakan ketikahâdiran ghayra mudhtharib wa lâ munza’ij (tenang, tidak cemas dan tidak gelisah). Kata itu juga bisa juga digunakan untuk menunjuk ketenangan jiwa karena membenarkan apa yang dalam al-Quran tanpa ada keraguan dan kebimbangan. Oleh karena itu, penyebutan tersebut merupakan pujian atas jiwa tersebut. Bisa pula, ketenangan jiwa tersebut tanpa takut dan fitnah di akhirat. Jiwa yang tenang itu jua tak luput dari jiwa yang berperasangka baik, bersabar karenan Allah.



Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya :

“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.”
[HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482]

Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat, kata ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek. Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak darinya hanyalah kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka terang-terangan berbuat maksiat, atau melakukan hal-hal yang mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke tempat penjualan khamr, berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka melihat perkara yang haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini tidaklah terlarang untuk berburuk sangka kepadanya. 
[Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 16/217, Ruhul Ma’ani 13/219]

Saudaraku, Islam memfasilitasi umat manusia agar dapat menikmati hidup ini dengan tenang, damai dan tanpa beban. Menikmati hidup dengan selalu tersenyum, ringan dalam melangkah, serta memandang dunia dengan berseri-seri. Inilah implementasi dari ajaran Islam yang memang dirancang untuk selalu memudahkan dan menjadi rahmat bagi sekalian alam. Untuk mewujudkan hidup yang selalu tersenyum, ringan dan tanpa beban tersebut; Islam memberikan beberapa tuntunan. Yaitu di antaranya: menjaga keseimbangan, selalu berbaik sangka (husnuzhon), juga dengan berpikir positif.

Secara naluriah, setiap manusia pasti merindukan perubahan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupannya.Baik secara individu, maupun sosial untuk membangun jiwa serta pikiran yang bersih. Terutama dalam menyikapi kehidupan yang sarat dengan tantangan di era globalisasi saat ini. 

Banyak langkah yang ditempuh untuk membangun jiwa menuju pola pikir yang positif dan pikiran yang bersih berdasarkan hati nurani yang fitrah. Dimulai dengan mengubah paradigma dan meluluskan tekad dan niat yang tulus untuk meraih perubahan. Tidak berpikiran statis (jumud), tak angkuh, aniaya, egoisme, menjadi sosok yang berbeda, teguh dalam prinsif, istiqomah serta ridho dalam menerima takdir Allah swt.

Upaya membangun jiwa positif dalam kajian fokus kali ini, mari kita mengambil beberapa penelitian yang membahas tema kecemasan jiwa dari sisi pandang agama Islam yang dilandasi oleh keimanan yang telah meresap dalam qalbu manusia yang hatinya mati dapat dibangkitkan dengan ketenangan dan ketenteraman jiwanya.

Ada beberapa kiat bagaimana membangun jiwa yang memiliki perasangka yang baik secara Islam yakni sebagai berikut:

Pertamaluruskan pikiran. Berdasarkan firman Allah dalam surah Ar-Ra’du: 11, Allah menjelaskan tentang hukum perubahan dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya keadaan anda tidak akan berubah dari satu kondisi selama anda belum mengenal hukum perubahan ini dengan baik. Maka tinggal upaya anda untuk mengatasi rasa cemas atau agar terbebas dari keresahan.Tidak akan berguna hidup anda adalah refleksi dari gaya berpikir anda dengan kapasitas anda pula. Anda bisa sakit atau juga bisa menikmati sehat. Kedudukan seseorang bukan penentu kebahagiaan atau kesengsaraan seseorang. Tetapi bagaimana menyikapinya mengubah cobaan berat menjadi sebuah karunia seperti diungkap oleh Mujtahid dan ulama besar Ibnu Taimiyah berkata, 

Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku? Tamanku dan surgaku berada dalam dadaku. Membunuhku sama halnya dengan mati syahid. Mengasingkanku sama dengan bertamasya, memenjarakanku sama dengan berkhalwat. 

Kedua, tinggalkan sifat perfeksionisme, yaitu sifat orang-orang yang menginginkan segala sesuatunya berjalan dengan semestinya atau berjalan dengan sekehendaknya. Sifat ini banyak menjadikan orang stress dan gangguan jiwa berupa cemas atau gangguan-gangguan lainnya. 
Ciri-ciri sifat perfeksionisme adalah : 
  • Mereka tidak mau menerima kekurangan yang ada pada dirinya.
  • Mereka ingin segala maksud dan tujuannya tercapai dengan mulus tanpa rintangan sesuai dengan yang diinginkan. 
  • Memiliki sifat hipokrit (munafik). Ada hadits Nabi Muhammad saw., yang mengandung makna demikian:“Orang yang mati syahid, orang yang berilmu, orang yang mengaku dermawan, ketiga-tiganya terlempar ke neraka lantaran lahiriahnya berjiwa malaikat, tapi karakternya berhati iblis”.
Ketiga, hilangkan rasa cemburu terhadap apa yang dimiliki orang lain. Rasa cemburu salah satu sebab timbulnya rasa cemas. Rasa cemburu timbul lantaran kurangnya memiliki sifat kepercayaan diri. Rasa cemburu tidak hanya menimpa pada sektor kehidupan rumah tangga saja, akan tetapi bisa dalam sector lainnya. Bisa cemburu lantaran orang tersebut kurang dihormati di masyarakat, padahal orang tersebut pintar, alim dan lainnya. Bisa cemburu lantaran kurang sukses dalam bidang ekonomi, politik, sosial, jabatan, gelar akademik dan sebagainya. Ingatlah, bahwa berpikir cemburu adalah cara berpikir yang keliru dan salah. Kita memiliki rasa percaya diri terhadap kemampuan yang kita miliki. Ingatlah, kebahagiaan anda bukan dari orang lain, tetapi muncul dari diri anda sendiri. 

Keempat, jadilah sosok berbeda dan jadilah diri sendiri.Islam sebagai agama kita telah menentang sifat ikut-ikutan. Islam sangat mengagumkan dalam independensi dalam kepribadian individu. Dalam Islam istilah ikut-ikutan dinamakan imma’iyyah, yang diambil dari kata imma’a yang tersusun dari 2 kata yang berarti jika dan ma’a, bersama-sama. Jadi artinya, jika orang berbuat ini, maka saya bersama mereka. Rasulullah saw., bersabda,

 “Janganlah kalian ikut-ikutan. Para sahabat bertanya: Apa arti Imma’atan ya Rasulullah?Rasulullah saw., menjawab, “Saya bersama orang-orang yang jika orang-orang berbuat baik, maka saya pun berbuat baik. Jika mereka berbuat zalim, maka saya pun berbuat zalim, melainkan aturlah dirimu sendiri,”
(HR. Turmudzi). 

Sistem tarbiyah yang dilakukan Nabi Muhammad saw., kepada para sahabatnya tak berdasarkan metode ikut-ikutan, dengan tujuan agar menghasilkan karakter yang berbeda beda, tapi memiliki keunggulan masing-masing. Sesuai dengan porsinya. Mari kita renungkan hadis Rasulullah saw., yang maknanya, 

“Orang yang paling penyayang kepada ummatku adalah Abu Bakar. Orang yang paling tegas dalam urusan agama atau hukum Allah adalah Umar bin Khotob, orang yang memiliki rasa malu adalah Utsman bin Affan, orang yang pandai membaca Quran adalah Ubay bin Ka’ab, orang yang pandai ilmu faroo-idl adalah Zaid bin Tsabit, orang yang paling pandai atau ‘alim adalah Mu’adz bin Jabal. Bukankah setiap umat ini ada yang berjiwa pemimpin? Dan orang yang memiliki jiwa ini adalah Abu Ubaidah bin Zarrah,” 
(HR. At-Tirmidzi, An Nasa’i, At- Thabarani dan Al Bayhaqqi). 

Kelima, berusaha untuk menghilangkan penyakit hati. Penyakit ini tentu bukan virus atau sejenis mikroba. Akan tetapi penyakit ini akibat adanya kerusakan pikiran yang bersumber dari hati manusia. Dan akibat tipisnya iman kita kepada Allah swt. Bahaya sifat ini ditegaskan Nabi Muhammad saw., 

"Waspadalah kalian dari sifat iri, karena sifat iri itu akan memakan kebaikan-kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar atau rerumputan kering".
 (HR. Abu Dawud). 

Tantangan hidup manusia di era globalisasi saat ini berkaitan dengan bagaimana cara membangun nilai-nilai positive thinking. Maka yang perlu kita sikapi sebagai da’i adalah bagaimana seharusnya profil seorang da’i yang selalu memberi pencerahan dan tausiyah kepada umat dalam membangun masyarakat madani yang berperadaban seperti diungkap oleh Nurcholis Madjid mengutip masyarakat yang pernah dibangun oleh Rasulullah saw., di Madinah. 

Ada 5 pilar dalam membangun masyarakat madani:
  1. Masyarakat rabbaniyah, masyarakar religius, yang dilandasi semangat berketuhanan atau tauhidiyah.
  2. Masyarakat demokratis, hidup dalam suasana musyawarah dalam memecahkan persoalan kemasyarakatan atau muamalat.
  3. Masyarakat toleran. Masyarakat Madaniyah adalah masyarakat majemuk, plural, baik dari suku maupun agama.
  4. Masyarakat yang berkeadilan.
  5. Masyarakat yang berilmu.
walloohu a'lam,

Semoga menjadi motivasi dan renungan untuk kita semuanya.
Bismillahhirrohmaanirrohiim,
"Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." 
[Q.S Al-Ashr 103 :1-3]

tulisan ini sebahagian di ambil dari catatan abanganda Dr. Fuji Rahmadi, MA, dengan ini penulis ucapkan terimakasih atas kajiannya yang sungguh sangat memotivasi penulis.

Semoga bermanfaat :)
Wassalaamu'alaikum warohmatullooohi wabarokatu.

Posted by alkautsar
No comments | Juni 08, 2013
Bismillaahirrohmaanirrohiim....
Assalamu'alaikum warohmatulloohi wabarokaatu...

Shalat berjamaah...., adalah hal yang sangat dianjurkan kepada setiap muslim terutama laki-laki (muslimin). Tapi ini merupakan hal yang sering terlupakan oleh banyak dari kita kaum muslim. Mungkin menganggap shalat berjamaan adalah suatu perbuatan yang membuang waktu, membosankkan atau mungkin ummat muslim kebanyakan hanya menunaikan shalat kerna takut akan dosa saja, hanya sekedar melaksanakan kewajiban, tidak lagi sesuai dengan niat yang ia niatkan dalam tiap shalatnya "Lillaahi Ta'ala", karena Allah Ta'ala. Atau mungkin juga telah terlepas atau tak mengindahkan perintah Allah dalam Quran:
bismillahirrohmaanirrohiim

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” 
[QS. Al-Baqarah: 43]

Sungguh shalat berjamaah adalah hal yang sangat diperintahkan Allah , bahkan Allah memerintahkan shalat berjamaah walau dalam keadaan perang sebagaimana firmanNya :
bismillah,

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata”. 
[QS. An-Nisa`:102]

Dalam sebuah hadist :


Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat kecuali Syeithon akan menguasainya. Berjamaahlah kalian, karena srigala hanya memangsa kambing yang sendirian”
[H.R Abu Dawud]


Sungguh sangat ironis jika kita sebagai ummat muslim mengabaikan perintah shalat berjamaah. Sangat tidak pantas jika seorang muslim merasa dirugikan waktunya dengan shalat berjamaah. Bukankah kita manusia hanya sekedar hambaNya? Apakah hal sesungguhnya yang menyebabkan seorang muslim enggan mengerjakannya? Dalam sebuah Hadist Rasulullah SAW bersabda :

“Shalat yang dirasakan paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan, kemudian kusuruh seseorang mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa kayu bakar mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat, lantas aku bakar rumah-rumah mereka.” 
[HR. Al-Bukhari no. 141 dan Muslim no. 651]

Secara umum menurut penulis ada beberapa alasan mengapa seorang muslim mengabaikan perintah shalat berjamaan :
  1. Enggan karena shalat berjamaah cenderung memerlukan waktu yang lama. Banyak di antara kita melaksanakan shalat bak latihan silat, dengan cepatnya tanpa memerhatikan tumakninah dan kekhusukan shalatnya.
  2. Merasa cukup dengan hanya mendirikan shalat ( sendirian ), "setidaknya masih Shalat". Artinya telah dibuat suatu standar amal yang minimalis.
  3. Niat, niat mungkin telah berubah, shalat bukan lagi karena Allah, tapi kerena Takut dengan dosa semata.
  4. Capek..., alasan yang sering diutarakan orang-orang jika ditanya tentang alasannya tidak shalat berjamaah,, bahkan bahayanya sampai tidak melaksanakan shalat karena capek dengan urusan dunianya.
  5. Khusus laki-laki yang diwajibkan shalat berjamaah di Masjid..., mungkin ada rasa sombong di dalam hatinya, enggan menjalin silaturrahmi dengan orang-orang di sekitarnya. dan lain-lain, wallahu a'lam.
Bukankah alasan-alasan di atas sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Al-Quran :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. [QS.Adz Dzariyaat :56]
Na'udzubillahimin dzalik.

Saudaraku.., coba bercermin kepada hati kita masing-masing, siapa kah diri kita? Bukankah kita hanya seorang hamba yang tiap detik mengecap nikmat dari Zat yang kita secara tidak langsung atau langsung sombong kepadaNya? Jangan sekali-sekali buat perhitungan amalmu dan membuat standar, beramal tiada memiliki standar. Beramallah semaksimal mungkin selagi waktu masih diberikan kkeppada kita.
Perkara shalat berjamaah, janganlah pandang dari sisi susah atau keinginan nafsu kita saja. Bukankah shalat berjamaah memiliki banyak keutamaan atau ganjaran pahala bagi orang-orang yang mengerjakannya?

Dari Abu Hurairah : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ
“Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjama’ah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun untuk mendo’akannya selama dia masih berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia’. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti pelaksanaan shalat.” 
[HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 649]
Dari Abu Musa dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى فَأَبْعَدُهُمْ وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّيهَا ثُمَّ يَنَامُ
“Manusia paling besar pahalanya dalam shalat adalah yang paling jauh perjalannya, lalu yang selanjutnya. Dan seseorang yang menunggu shalat hingga melakukannya bersama imam, lebih besar pahalanya daripada yang melakukannya (sendirian) kemudian tidur.” 
[HR. Muslim no. 662]
Dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.”
[HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 650]

Kiranya ktulisan ini dapat menggugah hati kita, memerangi nafsu kita serta menjadi pelajaran yang berguna bagi kita.
Dari Abu Bakar RA, “Wahai Nabi Saw, siapakah manusia yang paling baik?”. Beliau Bersabda, “Orang yang panjang umur dan baik amalnya”. Ia bertanya lagi, “siapakah manusia yang jelek?”, Nabi menjawab, “Orang yang panjang umur lagi buruk amal nya”. 
[HR Ahmad dan At-Tirmidzi]

Wassalamu'alaikum warohmatulloohi wabarokaatu. :)