Bismillahhirrohmaanirrohiim,
Assalamu'alaikum wahai saudara2ku seiman,
Dimulakan dengan firman Allah :
Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
[Q.S Al-Ashr 103 : 1-3]
Perjalanan hidup adalah masa-masa yang kita lewati sebagai makhluk yang tiada kekal, berjalan dari suatu masa ke masa, menempuh beberapa alam, seperti pada potongan lirik lagu yang sungguh menggugah hati dari Far East "Menanti di Barzakh"
Perjalanan Rohku,
Melengkapi Sebuah Kembara,
Singgah Di Rahim Bonda,
Sebelum Menjejak Ke Dunia,
Menanti Di Barzakh,
Sebelum Berangkat Ke Mahsyar,
Diperhitung Amalan,
Penentu Syurga Atau Sebaliknya,
Tiap-tiap kita tentu akan menjalaninya. Bagaikan hewan metamorfoosis yang berubah sejalan dengan perjalanan waktu, manusia juga akan beranjak menjalani alam-alam yang telah diqodratkan untuk dijalaninya dan berakhir pada hari perhitungan atau pembalasan dari tiap amal yang dikerjakan manusia selama hidupnya.
Yang dimaksud dengan selama hidupnya ialah menyangkut pada suatu alam yang memang dijadikan Allah sebagai kampung amal, tempat untuk mencari bekal perjalanan yang masih panjang. Ialah Dunia yang sekarang ini kita berada di jalannya. Dunia yang penuh kesenangan dan kesusahan, nikmat dan ujian, suka duka dan sebagainya yang merupakan suatu dimensi yang habis terhadap waktu, sehingga disebut sebagai alam Fana ( musnah ).
Tapi banyak di antara kita yang menganggap dunia adalah puncak dari kenikmatan hidup, jauh lari dari kenyataaan dan hakekat bahwa dunia adalah hanya sekadar kampung beramal. Jika dihubungkan dengan istilah sekarang banyak sekali di antara kita yang mengagungkan cinta dunia dibandingkan cinta dengan alam yang kekal ( kampung akhirat ). Sehingga kita berlomba-lomba dengan segala upaya untuk mendapatkan kebahagiaan hidupnya di dunia, walaupun mungkin tak mampu menimbang lagi tentang baik buruknya. Na'udzubillah.
Saudaraku...., sebagai renungan, mari kita perhatikan, mengapa burung bisa melayang di udara? itu karena adanya keseimbangan. Saat kita berdiri, mengapa kita dapat berdiri tegak dan sempurna? Pasti karena keseimbangan, Tapi coba banyangkan jika tidak ada lagi keseimbangan? Coba lihat di lingkungan kita sering terjadi kebanjiran, tiada lain pasti karena ketidak seimbagan debit air yang diterima dan yang diteruskan, dan lain sebagainya. Bukankah ketidakseimbangan itu selalu mendatangkan bencana? Perlu kita perhatikan..
Sekarang mari kita perhatikan keadaan hidup manusia Zaman sekarang. Masalah ekonomi umat Islam rata-rata pada saat sekarang belum menggembirakan, meskipun terdapat banyak negara Islam yang dianugerahkan sumber daya alam yaitu minyak dan gas bumi yang berlimpah-ruah, terutama di Timur Tengah, belum ada satu negara Islam pun yang layak digolongkan dalam kategori negara maju. Hanya ada lima negara Islam, dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 6 juta jiwa yang saat ini dikategorikan sebagai negara yang berpendapatan tinggi akan tetapi masih jauh dari kategori negara maju. Sedangkan lebih dari 20 negara Islam dengan jumlah penduduk melebihi 600 juta jiwa, tergolong dalam kategori negara berpendapatan rendah dan terbelenggu dalam kemiskinan. Ini mengindikasikan bahwa cuma setengah persen dari total 1200 juta umat Islam saja yang bisa dikatakan kaya sementara lebih dari 50 persen umat Islam berada dalam garis kemiskinan. Kemudian pertanyaan, adakah fenomena ini sejalan dengan ajaran Islam? atau apakah Islam itu sendiri menginginkan umatnya hidup dalam keadaan zuhud?
Kalau kita kembali membuka lembaran sejarah Islam masa lalu, sungguh kita akan tercengang betapa Islam telah mampu merubah nasib umatnya yang dahulunya mundur, naik pada peringkat teratas hingga menjadi sebuah masyarakat yang sangat tinggi tamaddunnya. Masyarakat Islamlah yang telah mencapai puncak kemajuan di berbagai bidang, terutama dalam memperluas dan mendalami berbagai disiplin ilmu, misalnya sains, matematika, astronomi, kedokteran, sastra, filsafat, mantik, ilmu politik, kemiliteran, pembangunan ekonomi dan sebagainya. Masyarakat Islam jugalah yang telah berjaya dalam mengarungi samudera dan menjelajahi bumi bukan sekedar memperluas wilayah dan daerah jajahan saja akan tetapi lebih dari itu menyebarkan Islam dan ilmu pengetahuan di bumi Allah dimana saja mereka berpijak.
Akan tetapi apa yang telah terjadi pada umat Islam saat sekarang, terutama setelah dijajah selama berkurun waktu yang mengakibatkan pudar keunggulannya. Masyarakat Islam menjadi loyo, letih dan lesu, bagaikan seekor burung yang sayapnya patah yang tidak mampu lagi untuk bangkit dan mengepakkan sayapnya, tidak mampu untuk mengembangkan apa yang pernah diraihnya.
Sekarang faktor apa yang paling dominan menyebabkan kemunduran umat Islam pada saat sekarang ini? Apakah hanya faktor penjajahan saja – seperti disebut di atas - atau ada faktor lain? Mungkinkah karena umat Islam hanya lebih mementingkan kehidupan akhirat saja dan sudah melupakan kehidupan duniawinya? Apakah umat Islam sudah melalaikan ajaran Islamnya sendiri yang notabene sebagai agama atau cara hidup yang sempurna?
Untuk menjawabnya mari kita berpijak dari firman Allah swt.,
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniwi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan"
[QS. Al-Qashash: 77]
Untuk menjelaskan ayat di atas saya akan mencoba menguraikannya ke dalam 3 kategori utama sesuai dengan makna kandungan ayat, yaitu:
Pertama, kehidupan akhirat adalah tujuan. Allah swt., berfirman,
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat". Di sini terlihat dengan jelas bahwa yang harus kita kejar adalah kebahagiaan hidup akhirat. Mengapa? Karena di sanalah kehidupan abadi. Tidak ada mati lagi setelah itu. Karenanya dalam ayat yang lain Allah berfirman: "Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya"
[QS. Al-Ankabut: 64]
Lalu, apa arti kita hidup di dunia ? Dunia tempat kita mempersiapkan diri untuk akhirat. Sebagai tempat persiapan, dunia pasti akan kita tinggalkan. Ibarat terminal, kita transit di dalamnya sejenak, sampai waktu yang ditentukan, setelah itu kita tinggalkan dan melanjutkan perjalanan lagi. Bila demikian tabiat dunia, mengapa kita terlalu banyak menyita hidup untuk keperluan dunia? Diakui atau tidak, dari 24 jam jatah usia kita dalam sehari, bisa dikatakan hanya beberapa persen saja yang kita gunakan untuk persiapan akhirat. Selebihnya bisa dipastikan terkuras habis oleh kegiatan yang berputar-putar dalam urusan dunia.
Coba kita ingat nikmat Allah yang tak terhingga, setiap saat mengalir dalam tubuh kita. Tapi mengapa kita lalaikan itu semua. Detakan jantung tidak pernah berhenti. Kedipan mata yang tak terhitung berapa kali dalam sehari, selalu kita nikmati. Tapi kita sengaja atau tidak selalu melupakan hal itu. Kita sering mudah berterima kasih kepada seorang yang berjasa kepada kita, sementara kepada Allah yang senantiasa memanja kita dengan nikmat-nikmatNya, kita sering kali memalingkan ingatan. Akibatnya kita pasti akan lupa akhirat. Dari sini dunia akan selalu menghabiskan waktu kita.
Orang-orang bijak mengatakan bahwa dunia ini hanyalah keperluan, ibarat WC dan kamar mandi dalam sebuah rumah, ia dibangun semata sebagai keperluan. Karenanya siapapun dari penghuni rumah itu akan mendatangi WC atau kamar mandi jika perlu, setelah itu ditinggalkan. Maka sungguh sangat aneh bila ada seorang yang diam di WC sepanjang hari, dan menjadikannya sebagai tujuan utama dari dibangunnya rumah itu. Begitu juga sebenarnya sangat tidak wajar bila manusia sibuk mengurus dunia sepanjang hari dan menjadikannya sebagai tujuan hidup. Sementara akhirat dikesampingkan.
Kedua, berusaha memperbaiki kehidupan dunia. Allah swt., berfirman: ”Dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu".Ayat tersebut dengan jelas bahwasannya Allah memerintahkan umat Islam untuk selalu berusaha menggapai kebahagiaan akhirat, tetapi jangan melupakan kehidupan di dunia ini. Meskipun kebahagiaan dan kenikmatan dunia bersifat sementara tetapi tetaplah penting dan agar tidak dilupakan, sebab dunia adalah ladangnya akhirat.
Masa depan termasuk kebahagiaan di akhirat kita, sangat bergantung pada apa yang diusahakan sekarang di dunia ini. Allah telah menciptakan dunia dan seisinya adalah untuk manusia, sebagai sarana menuju akhirat. Allah juga telah menjadikan dunia sebagai tempat ujian bagi manusia, untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya, siapa yang paling baik hati dan niatnya.
Untuk mengelola dan menggarap dunia dengan sebaik-baiknya, maka manusia memerlukan berbagai persiapan, sarana maupun prasarana yang memadai. Karena itu maka manusia perlu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, setidaknya keterampilan yang mencukupi dan profesionalisme yang akan memudahkan dalam proses pengelolaan tersebut.
Allah juga mengingatkan manusia karena watak yang seringkali serakah, egois /sifat ananiyah dan keakuannya, agar dalam mengelola dunia jangan sampai merugikan orang lain yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan pertumpahan darah (perang) antar sesamanya. Manusia seringkali karena keserakahannya berambisi untuk memiliki kekayaan dan harta benda, kekuasaan, pangkat dan kehormatan dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan hak-hak Allah, rasul-Nya dan hak-hak manusia lain. Karena itu Allah mengingatkan bahwa selamanya manusia akan terhina dan merugi, jika tidak memperbaiki hubungannya dengan Allah (hablun minallah) dan dengan sesamanya-manusia (hablun minannaas).
Ketiga, menjaga lingkungan. Sebagai sarana hidup, Allah swt., melarang manusia membuat kerusakan di muka bumi. Mereka boleh mengelola alam, tetapi untuk melestarikan dan bukan merusaknya. Firman Allah dari sambungan ayat di atas: "Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan".
Allah swt., menyindir kita tentang sedikitnya orang yang peduli pada kelestarian lingkungan di muka bumi. Dalam kaidah Ushul Fikih dikatakan, Ad-dlararu yuzalu: segala bentuk kemudharatan itu mesti dihilangkan. Nabi saw., bersabda: "La dlarara wala dlirara", artinya ialah tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain. Karena itu, bila kita ingin terhindar dari berbagai bencana harus ada revolusi total tentang pandangan manusia terhadap alam sekitarnya. Cara pandang kapitalistik dan individualistik yang ada selama ini harus diubah. Ini karena menganggap alam sekitarnya sebagai faktor produksi telah membuat orang rakus, serakah, dan sekaligus oportunis.
Walloohua'lam.
Semoga bermanfaat untuk kita semuanya
wassalaamu'alaikum :)